Sejarah Islam di Indonesia
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari
wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina
untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan
yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah
di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti
Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah
perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan
pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi
dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali
menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia
berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat
persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang
menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim
dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan
bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari
kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur.
Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang
Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475
H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini
bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi
Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi
memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk
Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan
saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu
ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam
dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara
lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas
Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam
bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam
datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan
merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang
benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan
dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab
yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya
adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi
ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun
setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai
daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan
terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum
Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena
berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para
penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka
pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan
dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan
ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah
terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat
Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang
mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke
kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai.
Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk
Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu
dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam
mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu
/ Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka
setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan
Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa.
Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari
sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun
1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh
berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan
gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam
Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah.
Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad
kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam
tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami
keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum
Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam.
Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup
Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas
dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang
penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat,
namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan
meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik
licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada
berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam
di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten,
Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18
seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri
(Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
0 comments:
Post a Comment