Sejarah Pergerakan Kebangsaan di Indonesia
Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam oreientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.
Karena pranata mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah memiliki kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan yang diberikan kesempatan sosial untuk menikmati kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan organisasi dalam gerakannya adalah absah. Dengan demikian kronologi sejarah gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan bagaimana sejarah mahasiswa memberikan nilai lebih terhadap organisasi sebagai alat perjuangan politik modern. Meskipun demikian, tidak ada maksud untuk tidak menghargai gerakan rakyat spontan.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman / pengidentifikasian terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Keberpihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam pengelolaannya dalam mencapai tujuan ideal/ideologinya.
Ketiga syarat tersebut mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Pengorganisasian sumber daya manusia, logistik dan keuangan Gerakan Mahasiswa (GM) dan
4. Penentuan program-program politik GM yang bermakna strategis-taktis.
Kategori organisasional in pulalah menjadi semakin penting karena terbukti pad GM masa Orba (juga kini) tidak mampu memaksimalkan arti dan peranan organisasi sebagai alat perjuangan modern. Dengan kategori ini kita akan melintas sepintas perjalanan GM Indonesia dari zaman kolonial Belanda sampai saat ini.
Kolonialisme dan Gerakan Pemuda
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan akumulasi dan kulminasi dari dialektika kondisi obyektif dengan tindakan subyektif masa sebelumnya. Oleh karena itu gerakan mahasiswa Indonesia tidak lepas dari pengaruh penyebaran ideologi liberal, nasionalisme, sosiaisme, komunisme, perang-perang heroik di dalam maupun luar negeri; gerakan petani abad 19, gerakan buruh pada awal abad 20 maupun sosial-demokrat, dan Islam, serta kondisi-kondisi ekonomi politik lainnya.
Seperti halnya negara yang pernah terjatuh pada kolonialisme, gerakan mahasiswa di Indonesia muncul pada saat-saat akhir kolonialisme kapitalis Belanda. Setelah kemenangan golongan liberal atas golongan konservatif, politik “balas budi” atau politik etis mulai diterapkan di Indonesia. Salah satu kebijaksanaan politik etis adalah edukasi / pendidikan. Kebijaksanaan ini diberlakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari sekolah tingkat dasar hingga sekolah-sekolah tinggi, golongan pribumi diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan. Sejak saat itu banyak golongan pribumi yang mendapatkan kesempatan sekolah di luar negeri seperti Hatta, dan banyak tokoh yang bisa menyelesaikan studinya di Indonesia seperti Soekarno, dr. Soetomo, dll.
Dibukanya sekolah-sekolah tersebut memberikan penagaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuan dari Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman bangsa lain yang sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan demokratisasi—khususnya di Tiongkok—telah membuka sel-sel otak bangsa pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti inilah, gerakan mahasiswa di Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol dari Stovia—sekolah kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi pribumi yaitu Sarekat Prijaji (1905) kemudian Boedi Oetomo (1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern yang pertama-- yang juga didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi Oetomo dapat bertahan hidup sampai tahun 1920.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Serekat Prijaji setelah bubar berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau Indishe Partij (IP).[1] Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia (PI)—oragnisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging[2]. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaun.[3]
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno.
Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong kepada ideology kebangsaan. Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern. Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Masa Penjajahan Fasisme Jepang
Di bawah pendudukan Jepang yang fasis dan represif praktis tidak ada ruang hidup bagi kehidupan politik kaum pergerakan khususnya pemuda.Semua organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Seinendan-Keibodan (Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan politik Asia Timur Raya sebagai bagian dari program imperialisme fasistik Jepang .
Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan, sebagi mutasi gerakan di bawah syarat-syarat sangat represif,: Gerakan Bawah Tanah/GBT (Underground Movement) dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan gerakan legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Disinilah pergerakan terasing dari massa.Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang diharapkan --tingkat yang revolusioner.
Masa Kemerdekaan 1945
Pada tanggal 14 dan 16 Agustus 1945, Nagasaki dan Hiroshima di bom atom oleh tentara sekutu yang menyebabakan Jepang mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II, maka terjadi kevakuaman kekuasaan di tanah-tanah jajahan pemerintahan fasis Jepang termasuk Indonesia sementara tentara Sekutu belum datang. Maka pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.
Masa pasca kemerdekaan merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga banyak memunculkan organisasi-organisasi. Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang timbul paska revolusi didasari pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).[4] Oragnisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi agama—Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan partai politik yang seideologi yaitu Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8 Desember 1945)—yang berideologi Katolik.[5] Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun ormas mahasiswa yaitu Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).[6]
Pada massa ini gerakan pemuda dan mahasiswa mencoba memeperkuat penola-kan terhadap usaha kolonialisme Belanda untuk kedua kalinya, dan secara umum belum sampai kepada tahap anti-imperialisme (perusahaan-perudsahaan milik Belanda tetap bercokol).
Selaian organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi mahasiswa yang berdasarkan profesi dan komunitas. Dalam katagori ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM).[7] Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan lembaga mahasiswa tingkat universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember 1955.[8]
Pergerakan Mahasiswa di Masa Orde Lama
Pergerakan konteks situasi Orde Lama kerap diwarnai konflik politik aliran dan ‘perang ideologi’ yang serba revolusioner, seraya tetap berpegang pada semangat anti-kolonialisme (Belanda) yang menjadi tren ketika itu. Memasuki masa demokrasi liberal-parlementer era Soekarno, HMI dan gerakan mahasiswa pada umumnya lalu mengambil bentuk afiliasi dengan partai politik segaris. GMNIberafiliasi di bawah PNI. GERMASOS dengan PSI. CGMI dengan PKI. Sementara itu, HMI memilih Masyumi.
Persaingan politik aliran antarpartai menjelang pemilu pertama di tahun 1955 berdampak pada persaingan antarmahasiswa yang mengambil bentuk ideologis saling berhadap-hadapan antara yang ‘kiri’ dan ‘kanan’. HMI berada pada posisi kanan bersama PMKRI dan Germasos dengan isu utama antikomunis dan anti kediktatoran. Sedangkan CGMI dan GMNI di pihak kiri dengan isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim, dan anti-fasisme. Sementara bandul kekuasaan semakin bergerak ke kiri di bawah komando Panglima Besar Revolusi Paduka Jang Mulia (PJM) Bung Karno, kelompok kanan mendapati kekalahan yang bertubi-tubi hingga memasuki masa demokrasi terpimpin.
Dekrit Presiden 1959 yang membubarkan Badan Konstituante sebagai jawaban Bung Karno terhadap upaya parpol Islam yang ingin memasukkan kembali Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru. Selain itu, pemberontakan PRRI dan Permesta yang merongrong kekuasaan, dijawab Soekarno dengan membubarkan Masyumi dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). HMI yang nota bene merupakan bagian dari kelompok oposan dapat selamat dari pembersihan PKI dan CGMI.
Padahal sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan. Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan atau bahkan dicap kontrev (kontrarevolusi). Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965, di mana kekuasan Soekarno mulai goyah. Kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut nasib gerakan mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno.
Masa Orde Baru
Kejatuhan Soekarno ini menjadi pancang sejarah pergeseran fase keindonesiaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Peristiwa ini memunculkan mitos gerakan mahasiswa sebagai moral force yang kemudian menjadi kategori politik penting terhadap kekuasaan, sekaligus memitoskan kebesaran mahasiswa angkatan ‘66. Pada babak sejarah berikutnya, maka banyak ditemui tokoh gerakan mahasiswa yang mengisi birokrasi kekuasaan. Dekade pertama kejatuhan Orde Lama merupakan masa ‘bulan madu’ gerakan mahasiswa dengan Orde Baru. Sedari awal, aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan orientasi gerakan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).
Melihat perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk mengkritisi situasi yang ada. Masa “bulan madu” ini mulai retak ketika Arief Budiman—kakak Soe Hok-Gie, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan situasi Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini, Arief Budiman dijebloskan ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian, pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober”[9]. Isi petisi ini mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya menguntungkan yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi masa yang massif. Konsepsi gerakan Moral masih dipakai dalam periode ini dimana kekuatan mahasiswa hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada[10].
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali Moertopo saling berebut kekuasaan.
Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade dengan melakukan tidur di sepanjang jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian terulang 20 tahun kemudian. Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun perlawanan ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa periode ini.
Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa ini. Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis.
Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah (terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin, pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpulan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri (terutama dari Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan. BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasiswa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa) yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya semula.
Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.
Aksi mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .
Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.
Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tahun 1990, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.
Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru!
Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.
Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.
Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.
Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa.
Setelah Soeharto dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH pada saat itu.
Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda UU Drakula tersebut.
Tanggal 20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun terbukti ternyata tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang membuat kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan Rejim GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas terhadap sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer.
Setelah gusdur berkuasa hampir selama 2 tahun yang belum mampu memberikan kepercayaan kepada rakyat, MPR/DPR mengadakan laporan sidang tahunan(LPJ) dimana gusdur mnempresentasekan kepemimpinan yang ia sudah lakukan dan LPJ tersebut tidak diterima oleh MPR/DPR yang akhirnya menyatakan bahwa kepemipinan gusdur gagal dan digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarno putri.
Masa kepemimpinan Mega-Hamzah pun tidak jauh bebeda dengan kepemimpinan yang lainnya.yang seharusnya kepercayaan rakyat mulai timbul dan mengharapkan megawati dapat merubah kondisi rakyat waktu itu, malah ia memeperlihatkan kebijakan yang tidak populis serta pro neoliberalisme dimana ia menaikan harga BBM, menyetujui kenaikan tariff dasar listrik sebesar 30%, mensahkan RUU PPHI, menjual BUMN kepada pengusaha asing, menyetujui kenaikan harga air serta angkutan umum, yang notabenenya rakyat belum mampu menerima itu semua. Yang lebih parah lagi kekuatan GM masih direpresif.ini terbukti dengan penankapan aktivis mahasiswa di sejumlah kota-kota yang menentang kenaikan BBM.misalnya kawan Mahendra(ketua LMND Jogja) yang di vonis 3 tahun penjara.jelas sudah, bahwa rezim Mega–Hamzah sangat tidak berpihak pada rakyat dan belum mampu menjawab persoalan mendasar rakyat.
Setelah paska kekuasaan Mega-Hamzah pemilu 2004 dilaksanakan. dimana pemilihan langsung untuk kepala negara baru pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Paska pemilu 2004 terjadi formasi kekuasaan borjuis yang menimbulkan bebagai kontradiksi yang berpotensi menimbulkan krisis politik. Kemenangan SBY-Kalla yang tidak didukung oleh kekuatan parlemen yang memadai. Kemengan Kalla dalam memimpin Golkar hanya sedikit mengurangi saja namun tidak akan mampu menghilangkan situasi ini. Sehingga SBY-Kalla harus berkompromi dengan banyak kekuatan politik sehingga stabilitas kekuasaannya tidak cukup kuat. Koalisi kerakyatan dan koalisi kebangsaan hanya semakin tinggal diatas kertas saja dilihat dari kristalisasinya paska paska proyek rebutan jabatan di DPR, MPR, Kabinet, Pimpinan-pimpinan DPRD.
Pergeseran kekuasaan dari Mega ke SBY-Kalla tidak merubah signifikan karakter ekonomi politik dari perkonomian nasional. SBY-Kalla adalah perwakilan perwakilan politik darin kaum imperialis, dan kelas kapitalis dalam negeri pribumi dan konglomerat tionghoa kroni suharto yang keberadaanya dibutuhkan oleh kaum imperialis. Kekuasaan kapital dari borjuasi dalam negeri baik Kalla-Bakrie dan kroninya serta konglomerat tionghoa kroni orde baru tetaplah inferior dihadapan kaum imperialis. Kalla-Bakrie terlepas disukai oleh kaum imperialis atau tidak sepanjang kooperatif sebagai agen atau sekutu lokalnya akan di pergunakan oleh kaum imperialis. Seperti halnya juga konglomerat tionghoa kroni orde baru yang keberadaanya dibutuhkan sebagai mata rantai distribusi barang produksinya di Indonesia misalnya Astra, Kramayudha dsb yang melayani imperialis otomotif dari jepang dsb.
Tentu kita ingat janji SBY-Kalla pada saat kampanye lalu, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan kerakyatan, adalah bohong besar. Gebrakan pemberantasan KKN oleh SBY-Kalla hanya menyentuh koruptor-koruptor kelas teri. Menteri-menteri dalam jajaran kabinet seakan kebal akan hukum. Jelas Jusuf Kalla yang terbukti menggelapkan Dana Abadi Umat para jamaah haji, dan kasus korupsi lainnya masih saja bebas untuk duduk sebagai Wakil Presiden. Bagaimana mungkin SBY-Kalla akan juga menyelesaikan kasus biangnya koruptor. Tak lain tak bukan, Soeharto.
Apalagi kebijkan pencabutan subsidi rakyat. Dari subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, listrik, air minum dsb. Rakyat miskin semakin tak mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sangat ironis saat rakyat banting tulang kebingungan karena harga-harga naik tajam akibat minimnya subsidi, Aburizal Bakrie dengan enaknya menikmati subsidi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) melalui Bank Nusa-nya. Anehnya hal ini terus dipertahankan oleh SBY-Kalla untuk membela segelintir golongan daripada mayoritas rakyat Indonesia.
Lalu seperti apakah posisi Gerakan Mahasiswa sebagai gerakan pelopor ?sekarang pun gerakan mahasiswa paska kejatuhan suharto tidak memunculkan kembali kekuatannya sebagai pelopor gerakan rakyat. Tetapi malah menyibuhkan diri dan kembali kedalam kampus menikmati serta berkutat pada permasalahan kampus saja.
Lemahnya GM sekarang tidak pernah di pahami oeleh beberapa organ ektra ataupun intra kampus, yang seharusnya GM mahasiswa bisa memunculkan kembali kekuatannya sebagai gerakan pelopor buat rakyat. Tetapi, GM tersebut hanya muncul pada saat momentum-momentum tertentu. BEM pun yang seharusnya bisa mempelopori gerakan intra kampus paska kenaikan harga BBM tetapi tidak pernah keliatan kekuatannya. Apakah mungkin BEM belum menemukan ttik klimaks perjuangan mereka ataupun masih mempercayai SBY-Kalla untuk memimpin negara ini yang sudah terbukti tidak berhasil mensejahterakan rakyat. Sudah saatnya GM kembali melihat persoalan-persoalan yang hari ini terjaid di masyarakat dan kepada anda sekalian-lah sejarah ini dibebankan!
[1] Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
[2] John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.
[3] Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.
[4] Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
[5] ibid, hal.84
[6] ibid, hal. 85
[7] ibid, hal.84
[8] ibid, hal.85
[9] Lihat Bonar Tigor N, Prisma, Juli 1996.
[10] Op.cit
0 comments:
Post a Comment