Pengertian Interseksi
Interseksi
adalah titik perpotongan atau pertemuan atau persilangan antara dua
garis atau dua arah. Menurut Soerjono Soekanto, dalam kamus sosiologi,
section atau seksi adalah suatu golongan etnis dalam suatu masyarakat
yang majemuk, misalnya etnis Sunda, Jawa, Bugis, Minang dan lain-lain.
Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa interseksi merupakan
persilangan atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok sosial dari
berbagai seksi baik berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial dan
lain-lain dalam suatu masyarakat majemuk.
Secara
sederhana, perbedaan suku bangsa, agama, ras daerah dan kelas sosial
saling silang-menyilang satu sama lain, sehingga menghasilkan
golongan-golongan yang juga saling silang menyilang. Oleh sebab itu, di
banyak daerah, penggolongan individu-individu akan sekaligus menempatkan
seseorang atau kelompok masyarakat pada beberapa kriteria.
Sebagai suatu proses sosial, interseksi mempunyai akibat terhadap kemajemukan masyarakat, diantaranya:
a. Meningkatkan
solidaritas, sebab individu dari suku, ras, agama, tingkat pendidikan,
jenis kelamin, dan pekerjaan yang berbeda-beda akan bergabung membentuk
kelompok sosial berdasarkan kriteria lainnya.
b. Menimbulkan
potensi konflik, jika perbedaan-perbedaan yang mereka miliki lebih
menonjol dan semakin tajam. Misalnya, jika perbedaan latar belakang
suku, agama, dan status orang tua lebih menonjol dalam suatu organisasi
pelajar, maka konflik yang berakhir pada perpecahan pasti akan terjadi
dalam organisasi tersebut.
2. Saluran Interseksi di Indonesia
Persilangan
keanggotaan suatu kelompok sosial tidak terjadi begitu saja, namun
dibantu dengan adanya interaksi di antara berbagai seksi. Interaksi
antara satu seksi dengan seksi lainnya dilakukan melalui hubungan
ekonomi, sosial dan politik.
a. Hubungan ekonomi
1) Melalui perdagangan
2) Melalui perindustrian
b. Hubungan sosial
1) Melalui perkawinan
2) Melalui pendidikan
c. Hubungan politik
Hubungan
diplomatik atau hubungan antar negara juga akan menyebabkan terjadinya
proses interseksi di antara para pejabat atau utusan dari masing-masing
negara.
B. Konsolidasi
Merupakan
perbuatan yang memperteguh atau memperkuat suatu hubungan. Jadi,
konsolidasi adalah suatu proses penguatan atau peneguhan keanggotaan
individu atau beberapa kelompok yang berbeda dalam suatu kelompok
sosial, melalui tumpang tindih keanggotaan. Konsolidasi merupakan suatu
proses yang berlangsung pada masyarakat majemuk.
Di
dalam berbagai masyarakat, selalu terjadi konsolidasi atau tumpang
tindih kriteria penentu keanggotaan kelompok atau kelas sosial. Tumpang
tindih terjadi misalnya antara suku bangsa dengan agama, suku dengan
pekerjaan, duku dengan kelas sosial dan lain-lain. Sehingga identitas
agama dapat sekaligus merupakan identitas suku bangsa yang bersangkutan
atau identitas suku dengan pekerjaan tertentu. Misalnya suku Melayu
identik dengan agama Islam, suku Bali identik dengan agama Hindu, suku
Minang dan Cina identik dengan pekerjaan dagang atau usaha jasa.
C. Mutual Akulturasi
Jika
suatu kelompok masyarakat dengan tipe kebudayaan tertentu memiliki
sikap terbuka dengan kebudayaan lain, maka akan terjadi mutual
akulturasi. Suatu mutual akulturasi didahului oleh interseksi yang
berjalan terus-menerus sehingga menimbulkan rasa saling menyukai
kebudayaan lainnya dan secara sadar atau tidak, individu-individu
masyarakat tersebut akan mengikuti dan menggunakan perwujudan kebudayaan
lain tadi. Misalnya, makanan dari beberapa etnis diminati dan disukai
oleh kelomok masyarakat lainnya.
D. Primordialisme
Primordialisme
adalah suatu pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang
dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat istiadat, kepercayaan,
maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya sehingga
membentuk sikap tertentu. Primordial artinya ikatan-ikatan utama
seseorang dalam kehidupan sosial, dengan hal-hal yang dibawa sejak
kelahirannya, seperti suku bangsa, ras, daerah dan sebagainya.
Primordialisme muncul disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
1. Adanya sesuatu yang dianggap istimewa pada rasnya, suku bangsanya, agamanya atau daerah kelahirannya
2. Sikap ingin mempertahankan keutuhan kelompok atau komunitas dari ancaman luar
3. Adanya
nilai-nilai yang dijunjung tinggi karena berkaitan dengan keyakinan,
misalnya nilai keagamaan, falsafah hidup dan lain-lain.
E. Stereotip Etnis
Stereotip
etnis berkaitan dengan ras, suku bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun
kebangsaan. Pada hakikatnya seteotip merupakan imaginasi mentalitas yang
kaku, yaitu dalam wujud pemberian penilaian negatif yang ditujukan
kepada out-groupnya. Sebaliknya kepada sesama in-group akan memberikan
penilaian yang positif. Stereotip dengan outgroup yang kaku dapat
menyebabkan timbulnya prasangka (prejudice) yang kuat.
Tumbuhnya
stereotip dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu
persepsi tertentu dan berfungsi untuk meyakinkan diri sendiri. Adanya
berbagai perbedaan ras diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama
dalam wilayah geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan.
Stereotip etnis ini dapat menyebabkan seseorang bersifat konservatif dan
tertutup terhadap hal-hal baru dan asing.
F. Etnosentrisme
Ada satu suku Eskimo yang menyebut diri mereka suku Inuit yang berarti “penduduk sejati”. Sumner menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme, yang secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa
kelompoknya sendiri adalah pusat segalanya dan semua kelompok yang lain
dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompok tadi.
Dengan kata lain etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk
menganggap kebudayaan kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme
membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya,
tinggi rendahnya dan benar ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi
kemiripannya dengan kebudayaan kita. sebagian besar meskipun tidak
semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrime.
Etnosentrisme adalah suatu tanggapan manusiawi yang universal, yang
ditemukan dalam seluruh masyarakat yang dikenal, dalam semua kelompok
dan praktisnya dalam seluruh individu.
1. Kepribadian dan Etnosentrisme
Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Dalam bukunya The Authoritarian Personality, Adorno
(1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang
terpelajar, kurang bergaul, pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan
ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat
dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa disertai prasangka
terhadap kelompok etnis dan bangsa lain.
Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul,
|
2. Pengaruh Etnosentrisme
a. Meningkatkan kesatuan, kesetiaan dan moral kelompok
Kelompok-kelompok
etnosentris tampak lebih bertahan daripada kelompok yang bersikap
toleran. Etnosentrisme mengukuhkan nasionalisme dan patriotisme. Tanpa
etnosentrisme, kesadaran nasional yang penuh semangat mungkin sekali
tidak akan terjadi.
b. Perlindungan terhadap perubahan
Di
negara Jepang pada abad ke-19, etnosentrisme telah dipakai untuk
menghambat masuknya unsur asing ke dalam kebudayaan. Usaha menghambat
perubahan kebudayaan semacam itu tidak pernah seluruhnya berhasil;
perubahan terjadi pada bangsa Jepang. Karena tidak ada kebudayaan yang
sama sekali statis, setiap kebudayaan harus berubah untuk mempertahankan
kelangsungannya. Pada saat ini etnosentrisme di India membantu
mempertahankan India dari kaum komunis, tetapi India tidak mungkin tetap
non komunis bila tidak memodernisasikan teknologinya dan mengendalikan
perkembangan penduduk dengan cepat dan perubahan ini dihambat oleh
etnosentrisme. Jadi dalam situasi-situasi tertentu, etnosentrisme
meningkatkan kestabilan kebudayaan dan kelangsungan hidup kelompok;
dalam situasi lain, etnosentrisme meruntuhkan kebudayaan dan memusnahkan
kelompok.
Adalah
ironis bahwa merka yang menganjurkan perubahan sering gagal karena
etnosentrisme mereka. Mereka menolak cara kehidupan “penduduk asli”
sebagai tidak berguna dan menganggap teknologi “modern” pasti unggul.
Sebagai contoh program pengembangan pertanian Amerika telah sering gagal
karena mereka mencoba memindahkan peternakan Amerika, tanaman-tanamkan
Amerika dan teknologi pertanian Amerika ke negara-negara terbelakang.
Lebih kongkrit lagi, di Amerika sendiri para penggembala domba masih
menuntut untuk meneruskan meracun serigala, yang ditinjau dari segi
lingkungan merusak dan sangat tidak efektif. Mereka tidak mengacuhkan
cara yang sederhana dalam menggendalikan serigala seperti yang dilakukan
oleh Suku Navajo dari Arizona selama beberapa generasi. Suku Navajo
membesarkan anjing-anjing bersama-sama dengan domba mereka dan tidak
memperlakukan mereka sebagai binatang kesayangan. Anjing-anjing itu
melindungi domba-domba, biayanya murah dan tidak merusak lingkungan.
Keyakinan etnosentris dalam teknologi tinggi dan sikap merendahkan
orang-orang “terbelakang” sering menyebabkan kita buta terhadap hal-hal
praktis.
G. Politik Aliran
Politik aliran (sectarian) merupakan konsekuensi lain dari bentuk-bentuk struktur sosial. Konsep sektarian pertama kali dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam kajiannya di Jawa Timur. Ia mengatakan bahwa ada tiga golongan dalam masyarakat Jawa, yaitu golongan santri, golongan priyayi, dan golongan abangan.
Ketiga golongan itu memiliki aliran yang berbeda-beda satu sama lain
sehingga hubungan diantara ketiganya diwarnai oleh sikap saling curiga,
terutama mengenai gagasan-gagasan yang mereka bawa dan mereka yakini
masing-masing.
Golongan santri
digunakan untuk mengacu pada orang yang memiliki pengetahuan dan
mengamalkan agama serta biasanya berpusat di daerah perdagangan atau
pasar. Kaum priyayi sering dianggap sebagai kalangan
terpelajar, pamong praja, dan berpendidikan serta sering berpusat di
kantor pemerintah. Sementara abangan digunakan untuk mereka
yang bukan priyayi dan bukan juga santri, berpusat di daerah pedesaan
dengan pengalaman keagamaan campuran Islam dan animisme.
Dari
pemikiran Geertz itu, Herbert Feith kemudian menjabarkan ada lima
aliran politik di Indonesia, yaitu pemikiran politik yang dipengaruhi
oleh campuran Hindu, tradisionalisme Jawa, Islam serta Barat ke dalam
ideologi komunisme, nasionalisme radikal, sosialisme, Islam, dan
tradisionalisme Jawa.
Banyaknya
politik aliran yang berkembang dalam suatu negara menunjukkan terdapat
banyak pula ideologi yang dianut masyarakat negera tersebut. Politik
aliran dengan berbagai ideologi itu dapat dijadikan sebagai tempat
menyalurkan aspirasi masyarakat yang tentunya berbeda-beda pula.
0 comments:
Post a Comment